05 April 2023
TRIBUNNEWS.COM - Mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir menggantungkan hidupnya dari laut, terutama mereka yang menggeluti profesi nelayan. Begitu juga para nelayan lokal yang tinggal di Pantai Kawasi, yang terletak di sebelah barat Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Akan tetapi, akhir-akhir ini tersiar kabar yang mengatakan bahwa Pantai Kawasi diduga telah tercemar logam berat nikel. Dugaan selanjutnya mengatakan bahwa hasil tangkapan ikan para nelayan lokal di Pantai Kawasi juga menurun. Tidak hanya itu, mereka juga terancam kehilangan mata pencahariannya karena ikan tangkapan mereka diduga beracun akibat pencemaran Laut Obi.
Tuduhan dan dugaan miring itu dibantah oleh masyarakat setempat, yang memang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Menurut warga, mereka hingga hari ini dapat terus melaut karena ikan di perairan sekitar Kawasi masih melimpah. Hasil tangkapan mereka pun dijual ke pasar setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun konsumsi sendiri, termasuk diserap oleh perusahaan
Salah satunya adalah Saidi Jouronga. Ia mengaku sampai detik ini masih menekuni profesinya sebagai nelayan. Pria 58 tahun yang sejak lahir tinggal di Kawasi ini setiap hari melaut dari pukul 6 pagi dan pulang menjelang petang.
“Tiap hari melaut, kecuali kalau cuaca sedang tidak bagus seperti karena ombak tinggi, baru kita di rumah. Kalau cuaca bagus, kita tidak bisa di rumah dan harus melaut karena untuk kebutuhan sehari-hari,” ungkap Saidi saat ditemui di tepian pantai Kawasi belum lama ini.
Kakek dengan 9 cucu itu mengaku mencari ikan di sekitar pantai Kawasi. Lokasi perairannya membentang di antara wilayah operasional Harita Nickel, perusahaan tambang dan hilirisasi nikel yang telah beroperasi sejak tahun 2010.
“Saya cari ikan di dekat-dekat sini saja. Dari Kawasi sampai Akelamo. Kalau ikan-ikan yang besar seperti Tuna dan Cakalang memang harus ke tengah laut. Tapi kalau terlalu ke tengah, lautnya dalam dan ombak juga besar. Saya juga pikir keselamatan,” tuturnya.
Saidi dan para nelayan di Pulau Obi melaut dengan mengendarai perahu ketinting, perahu dengan mesin penggerak luar yang hanya mengangkut 3-4 orang. Perahu ketinting seperti ini juga umum digunakan untuk mengangkut hasil perikanan nelayan tradisional di berbagai daerah di tanah air.
Teknik mencari ikannya pun masih manual, seperti menggunakan pancing, tanpa peralatan lain. Saidi sendiri mengaku lebih sering menggunakan handline, senar pancing yang diulur sampai ke kedalaman tertentu untuk mengincar target tangkapan.
“Saya tarik terus ke atas cukup lama sampai sekitar tiga puluh menit. Kurang dua meter dari bodi perahu, saya lompat ke laut terus tangkap itu ikan,” terang Saidi ketika menceritakan kembali pengalamannya menangkap ikan Giant Trevally seberat 23,51 kg di perairan yang tak jauh dari bibir pantai.
Hasil tangkapannya itu menjadikan ia sebagai juara pertama pada turnamen memancing yang diadakan Harita Nickel baru-baru ini.
Saidi juga mengungkapkan hasil tangkapannya setiap hari rata-rata masih berkisar 20-30 kg, jenis ikannya pun beragam, dari Giant Trevally yang disebut sebagai Bobara oleh warga setempat, Kerapu, Kakap Merah hingga cumi-cumi. Sebagai gambaran, harga ikan per kilogram di pasar setempat berkisar antara Rp40 ribu hingga Rp50 ribu.
“Jadi kalau ada yang bilang di laut Kawasi tidak ada ikan, atau kalaupun ada ikannya, tidak mau makan karena airnya kotor, itu bohong besar. Saya lahir di Kawasi, sehari-hari mencari ikan di sini sampai hari ini, jadi saya tahu persis,” tegasnya.
Terkait keberadaan Harita Nickel yang beroperasi di wilayah desa kelahirannya, Saidi menyatakan kehadiran perusahaan tersebut membawa banyak perubahan positif. Selain menyerap tenaga kerja dari warga setempat, perusahaan juga memberi pendampingan kepada para nelayan Obi dan petani seperti dirinya.
“Adanya perusahaan ini banyak membawa perubahan bagi Desa Kawasi. Bukan jadi tambah rusak, tapi desanya jadi tambah cantik. Bukan jadi mundur, tapi jadi tambah maju,” terangnya.
Saidi juga mengaku siap mendukung program perusahaan yang pastinya telah mendapatkan izin dari pemerintah, termasuk rencana relokasi warga desa Kawasi ke pemukiman baru yang telah disiapkan pihak perusahaan.
“Diminta pindah, ya kita ikut. Prinsipnya apa pun yang jadi program pemerintah dan perusahaan saya dukung, karena itu untuk kebaikan masyarakat, terutama untuk anak dan cucu kami nanti,” terangnya.
Saidi pun menceritakan bahwa laut sudah menjadi bagian dari hidupnya. Berkat hasil melaut, ia bisa memenuhi makan sehari-hari hingga mampu menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan dua anaknya kini telah lulus kuliah dan sekarang bekerja, sementara satu masih kuliah di Ternate dan akan lulus tahun ini, dan sisanya masih bersekolah.
“Saya sudah kasih anak-anak kuliah dan sekolah, agar mereka bisa berpikir ‘bapak cari ikan di laut untuk anggaran anak-anak bisa kuliah bisa sekolah’,” sambungnya, berharap kehidupan anak-anak dan cucunya kelak dapat lebih baik.
Hut Ibrahim, warga Desa Kawasi yang juga berprofesi sebagai nelayan, juga mengaku masih melaut di perairan Kawasi. Seperti Saidi, ia pun masih mencari ikan dengan peralatan tradisional.
Selain memenuhi kebutuhan sehari-hari, Hut Ibrahim juga menggunakan hasil melautnya untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Salah satu anaknya bahkan sudah lulus dari salah satu universitas di Kota Ternate dengan jurusan Teknik Informatika dan tahun ini akan melanjutkan jenjang magister.
“Perusahaan selama ini sudah banyak memberi manfaat kepada masyarakat. Semoga ke depan bisa terus berkembang dan lebih maju lagi untuk membangun masyarakat di sini,” tutur Hut Ibrahim.
Tuduhan terhadap aktivitas perusahaan yang mengakibatkan pencemaran laut di Pulau Obi sendiri telah dibantah oleh perusahaan beserta sejumlah pihak. Hal ini turut didukung oleh hasil uji sampel di laut oleh laboratorium independen dan terakreditasi, yang menunjukkan bahwa hasilnya masih memenuhi baku mutu.
Para pakar ahli bidang kelautan dan perikanan serta sejumlah akademisi independen dari universitas ternama di Indonesia, seperti Institut Pertanian Bogor, Universitas Khairun, Universitas Diponegoro dan Universitas Sam Ratulangi pun telah melakukan penelitian langsung. Mereka mengatakan bahwa aktivitas perikanan di perairan Pulau Obi masih menunjukkan kondisi perairan yang produktif, khas perairan tropis pada umumnya.
Salah satunya adalah hasil penelitian pada tahun 2015-2021 dari Dosen mata kuliah Planktonologi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Prof Dr Inneke Rumengan, yang mengatakan bahwa kondisi komunitas biota laut Obi stabil dan tidak ada tren penurunan.
Pihak perusahaan melalui Head of External Relations Harita Nickel Stevi Thomas menegaskan bahwa perusahaan senantiasa melakukan praktik pertambangan unggul melalui tata kelola perusahaan yang baik dan memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, serta tanggung jawab sosial perusahaan melalui Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
Program PPM tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari pendidikan, kesehatan, sosial budaya, pengembangan ekonomi hingga pengembangan infrastruktur.
Ia menambahkan bahwa program PPM bukan hanya dilaksanakan sebagai perwujudan tanggung jawab sosial, namun juga merupakan cerminan dari prinsip perusahaan yang mendorong pertumbuhan dan pengelolaan operasional lewat pemenuhan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan.
“Program PPM ini dilakukan sejalan dengan program pemerintah melalui kemitraan dan peran aktif berbagai pemangku kepentingan. Berbagai program telah dilakukan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di sejumlah desa binaan perusahaan, di antaranya beasiswa pendidikan tinggi, akses pelayanan kesehatan, pengembangan agrikultur dan UMKM, dukungan kegiatan sosial masyarakat, serta penguatan infrastruktur pelayanan publik bagi masyarakat di pulau Obi,” pungkas Stevi Thomas.
*Sumber: Tribunnews.com
Go Top