05 May 2025
Ditulis oleh:
Dr. Ir. Muhammad Sonny Abfertiawan, S.T., M.T.
Dosen & Peneliti Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair Institut Teknologi Bandung
Inti dari pertambangan adalah sebuah paradoks: manusia menggali jauh ke dalam Bumi untuk membangun masa depan, tetapi seringkali dinilai merusak sistem yang menopang kehidupan.
Sebaliknya, sungai mengalir dengan lembut dan terus-menerus—membentuk lembah, menopang ekosistem, menawarkan kehidupan tanpa merampas. Di tempat penambang mengebor, sungai menyembuhkan; di tempat industri mengekstraksi, sungai mengingatkan kita akan keberlanjutan.
Secara filosofis, hubungan antara pertambangan dan sungai seringkali menunjukkan ketegangan antara antroposentrisme—keyakinan bahwa alam ada untuk digunakan manusia—dan ekosentrisme, yang memandang alam memiliki nilai intrinsik di luar kegunaan manusia.
Pertambangan mewakili dorongan Promethean manusia: untuk mengendalikan (to control), membentuk ulang (to reshape), dan mengekstraksi (to extract). Namun, sungai melambangkan kebijaksanaan yang berbeda—kearifan adaptasi, aliran, dan timbal balik.
Ketika kita menambang tanpa berpikir, kita berisiko memutuskan ikatan kuno antara manusia dan alam, mereduksi Bumi menjadi sumber daya daripada ikatan atau hubungan. “Nature is not just raw material—it’s a structured, meaningful system”, begitu kata Aristotle (384 BC–322 BC).
Pertanyaan sebenarnya adalah: Bisakah kita menambang secara etis? Bisakah kita menggali tanpa merusak aliran?
Masa depan yang berkelanjutan bukanlah dengan menghentikan kegiatan ekstraksi, tetapi dengan menata ulang ketentuan-ketentuan ekstraksi kita—dengan kerendahan hati, pengendalian diri, dan rasa hormat terhadap sistem yang lebih tua dan lebih bijaksana daripada kita. Bagi Heraclitus (535 BC – 475 BC), seorang filsuf Yunani kuno, kebijaksanaan terletak pada pemahaman aliran alam, bukan pada upaya untuk mendominasinya.
Perjalanan 4000 Km dari Kota Bandung, ditempuh tim peneliti dari Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung, menuju Pulau Obi, ke site pertambangan milik Harita Nikel.
Bagi Kami, Pulau Obi di Maluku Utara bukan sekedar titik di peta Indonesia. Ia adalah ruang hidup, lanskap indah yang memeluk hutan tropis, aliran jernih Sungai Akelamo, dan perut bumi yang kaya akan nikel—logam yang kini jadi kunci bagi revolusi energi global.
Kami menelusurinya, yang mengalir dari Danau Karo hingga bermuara di Laut Maluku. Sungai Akelamo itu mengalir deras dengan semangat yang bersemangat, arusnya deras dan tak henti-hentinya, berkelok-kelok (meandering) melalui daratan seperti benang perak yang ditarik kencang di atas bumi.
Meskipun tidak dalam—permukaannya yang jernih dan beriak memperlihatkan bebatuan dan mineral-mineralnya yang berumur Pra-Tersier hingga Kuarter dan ikan-ikan yang berenang cepat di bawahnya—lebarnya membentang dengan murah hati, merangkul tepian sungai dengan tangan terbuka. Ia membawa suara, bisikan lembut dan deras yang bergema melalui pepohonan.
Di kedua sisi, morfologi lanskap terbentang dalam keagungan yang tenang: pepohonan dan alang-alang tinggi bergoyang berirama tertiup angin, dan bukit-bukit di kejauhan menjulang lembut seperti penjaga aliran.
Burung-burung meluncur di tepi air, sayap mereka menangkap kilauan sinar matahari, sementara binatang-binatang kecil itu menari di atas permukaan seolah-olah terbawa oleh napas sungai.
Udara segar dengan aroma tanah yang lembap dan bunga-bunga liar. Ini bukanlah sungai yang sangat dalam atau rahasia yang tersembunyi—ini adalah sungai yang hadir, bergerak, dan indah. Ia tidak menyombongkan diri; yang ditawarkannya—momen damai, pemandangan yang layak diingat, dan pengingat bahwa bahkan air yang paling tenang pun dapat membentuk lanskap dengan anggun.
Meskipun penambangan tidak jauh dari sumbernya, meskipun truk-truk bergemuruh di jalan-jalan di dekatnya, dan tanahnya menunjukkan tanda-tanda ambisi manusia, sungai itu menolak untuk kehilangan jiwanya.
Sungai itu masih bernyanyi. Sungai itu masih memantulkan langit, membuai ikan di bawah permukaannya, dan menarik kupu-kupu Ornithoptera aesacus ke tepiannya. Seolah-olah alam memberi kita kesempatan kedua—sesaat untuk berhenti dan bertanya: Masa depan seperti apa yang ingin kita bentuk di sini?
Mungkin hal yang paling luar biasa adalah: sungainya masih indah.
Karena tidak semua penambangan harus berujung pada kehancuran. Ada orang-orang yang mulai mendengarkan sungai, masyarakat, dan Bumi. Mereka berbicara tentang praktik penambangan yang baik (Good Mining Practices), tentang reklamasi dan revegetasi ulang, pengelolaan limbah, air limpasan terkendali, dan keterlibatan masyarakat.
Mereka merancang operasi yang menghormati zona penyangga, mengelola dan memantau kualitas air, serta bekerja bukan melawan lanskap, tetapi bersamanya. Itu tidak sempurna—tetapi itu mungkin. Dan itu perlu.
Dorongan Promethean bukannya tanpa kritik dan masalah etika. Spektrum ancaman eksistensial antropogenik yang terus meningkat terhadap peradaban dan kelangsungan hidup manusia telah memunculkan seruan akan kerangka kerja baru "keamanan eksistensial/existential security" yang memprioritaskan kelangsungan hidup umat manusia (Sears, 2020).
Selain itu, lebih dari 1700 ilmuwan memperingatkan tentang potensi konsekuensi dari perusakan lingkungan yang tidak terkendali, menyoroti perlunya penatalayanan yang bertanggung jawab terhadap Bumi (Ripple et al., 2017).
Praktek penambangan yang bertanggung jawab sangat penting untuk melestarikan ekosistem sungai. Dengan perencanaan yang cermat dan penerapan teknik yang berkelanjutan, keseimbangan antara operasi penambangan dan sistem sungai yang sehat dapat dicapai, yang akan menguntungkan industri dan lingkungan.
Keberlanjutan, oleh karena itu, bukanlah tidak adanya perubahan—tetapi karena kehadiran kebijaksanaan. Artinya, memilih metode yang mengurangi dampak kerusakan, memulihkan apa yang telah diambil dan ditimbulkan, serta memastikan bahwa generasi mendatang juga akan duduk di tepi sungai ini, melihatnya bergemericik berkilauan, dan merasa bersyukur alih-alih bersedih.
Masa depan umat manusia tidak perlu menentang alam—ia dapat menjadi perpanjangan dari alam. Kota-kota kita dapat beroperasi dengan energi bersih yang dibangun dari bahan-bahan yang ditambang secara bertanggung jawab. Anak-anak kita dapat mewarisi inovasi dan hutan yang belum tersentuh hingga hutan masa depan yang tumbuh di tanah bekas pertambangan.
Sungai masih dapat mengalir deras dan bersih, jika kita ingat bahwa kemajuan tanpa rasa hormat hanyalah bentuk lain dari kehancuran. Para pemikir dan filsuf Stoik seperti Zeno, Epictetus, dan Marcus Aurelius percaya pada kehidupan yang sesuai dengan alam dan menerima peran seseorang dalam kosmos — sebuah kesatuan yang teratur, rasional, dan hidup — diatur oleh logos, akal budi atau kecerdasan ilahi yang menyusun alam semesta.
Dan Sungai Akelamo terus mengalir—lebar, cepat, dangkal, jernih, indah—tanpa meminta apa pun dari kita, kecuali: Untuk belajar. Untuk berubah. Untuk peduli. Untuk membangun masa depan di mana pertambangan dan sungai, mesin dan gunung, manusia dan alam, dapat hidup tanpa konflik—tetapi dalam percakapan yang hangat ditemani secangkir Kopi Rempah Khas Ternate.
Masa depan di mana sungai masih menyanyikan lagu kehidupan, dan bukan tentang kehilangan. Dan, kami belajar itu dari Sungai Akelamo, Pulau Obi—membawanya pulang ke Kota Bandung untuk menjadi sebuah cerita, dan tentu mengisi ilmu pengetahuan dari kecerdasan alam Sang Pencipta.
Go Top