22 May 2022
Cerita memukau tak henti tersiar dari bumi Kie Raha. Ada masa ketika empat kesultanan berjaya dan memberi pengaruh ke berbagai penjuru negeri, ada pula masa ketika ilmuwan Eropa menemukan surga flora-fauna di zona Wallacea. Moloku Kie Raha, nama lain Provinsi Maluku Utara (Malut), kini membuat kagum dunia dengan sumber daya mineralnya yang melimpah. Citra Malut kian tersohor atas khazanahnya yang tiada ujung.
Provinsi di timur Indonesia ini menyimpan 90 persen cadangan nikel dalam negeri, bersama dengan Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Sementara itu, menurut Booklet Tambang Nikel 2020 yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebanyak 52 persen cadangan nikel dunia berada di Indonesia dengan jumlah 72 juta ton nikel. Jumlah itu membuat Indonesia menjadi pemain utama dalam industri nikel.
Sumber daya mineral yang melimpah telah menarik perhatian para investor, baik lokal maupun mancanegara, untuk berinvestasi di Malut. Izin Usaha Pertambangan (IUP) mulai bermunculan. Para pekerja pun berduyun-duyun bergabung dan menghidupkan sektor ini. Target utama para perusahaan tambang adalah bijih (ore) nikel kadar tinggi (saprolit) untuk diekspor. Bijih nikel tersebut lalu diolah untuk bermacam kebutuhan industri, terutama yang berbahan baja nirkarat (stainless steel).
Seiring berkembangnya industri pertambangan nikel di Indonesia, pemerintah melihat adanya peluang untuk mengoptimalkan sektor ini melalui hilirisasi. Pemerintah lalu melarang ekspor ore nikel terhitung sejak 1 Januari 2020 melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 11Tahun 2019, yang saat itu diteken oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. Peraturan tersebut saat ini telah diubah oleh Permen ESDM No. 17 Tahun 2022.
Pada awal kemunculannya, regulasi tersebut sempat membuat panik sebagian pelaku usaha pertambangan nikel. Mereka beranggapan, bisnis ekspor ore nikel yang selama ini dijalani berada dalam ancaman. Namun, hal itu tidak berlaku bagi HARITA Nickel. Perusahaan yang beroperasi di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) ini telah lebih dulu menjalankan industri hilirisasi sejak tahun 2016. Target hilirisasi nikel yang dicanangkan oleh pemerintah pun dipandang sebagai peluang oleh HARITA Nickel.
Komitmen hilirisasi HARITA Nickel dibuktikan dengan berdirinya pabrik peleburan (smelter) pirometalurgi Megah Surya Pertiwi (MSP) pada tahun 2016. Pabrik berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) ini mampu memproduksi 240.000 metrik ton feronikel per tahun. MSP mengolah saprolit yang ditambang oleh Trimegah Bangun Persada (TBP) dan Gane Permai Sentosa (GPS), selaku perusahaan pertambangan yang berada dalam naungan HARITA Nickel.
Transformasi yang dilakukan HARITA Nickel tidak berhenti sampai di situ. Setelah sukses memproduksi feronikel bersama MSP—yang menggunakan nikel kadar tinggi—target selanjutnya adalah mengoptimalkan nikel kadar rendah yang selama ini dianggap sebagai “barang sisa”. Nikel kadar rendah (limonit) sejatinya dapat dimanfaatkan menjadi produk bernilai tinggi. Untuk mewujudkannya, HARITA Nickel mendirikan pabrik pemurnian (refinery) Halmahera Persada Lygend (HPL) pada tahun 2019.
Pabrik baru ini menggunakan teknologi hidrometalurgi High Pressure Acid Leach (HPAL). Teknologi HPAL mampu mengolah limonit menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Melalui proses berikutnya, MHP diolah lebih lanjut menjadi nikel sulfat (NiSO4) dan kobalt sulfat (CoSO4) dengan kapasitas produksi 180.000 ton per tahun. Produk tersebut merupakan bahan baku baterai kendaraan listrik. HARITA Nickel adalah pihak pertama yang berhasil menerapkan teknologi HPAL ini di Indonesia.
Momen peresmian pabrik HPL pun mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Peresmian yang berlangsung pada Rabu (23/6/2021) itu dihadiri oleh Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Investasi/Kepala Badan Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil. Para menteri juga didampingi oleh Gubernur Maluku Utara KH. Abdul Gani Kasuba dan Bupati Halmahera Selatan Usman Sidik.
Pada kesempatan itu, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa berdirinya HPL merupakan kabar baik bagi industri hilirisasi nasional. “Kita sangat bangga karena kita semua menjadi saksi sejarah berdirinya HPAL di Indonesia. Indonesia bisa membuktikan dirinya mampu. Ini akan menjadi pengembangan hilirisasi ke depan dan mendukung industri kendaraan listrik. Pemerintah akan mendukung pengembangan HPAL di Indonesia,” ujarnya.
Membangkitkan ekonomi
Tahun 2020 lalu menjadi masa yang penuh tantangan. Selain adanya peraturan menteri yang melarang ekspor ore, pada tahun ini juga tersebar pandemi Covid-19 yang begitu masif. Tidak sedikit pelaku industri yang terseok karena kendala tersebut. Ada yang terpaksa memangkas jumlah pekerja, ada pula yang harus menyetop kegiatan operasionalnya secara total. Sementara itu di Site Obi, HARITA Nickel terus melaju mewujudkan hilirisasi dengan menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat demi keselamatan para pekerja.
Komitmen yang kuat dari HARITA Nickel mampu membuat perusahaan ini bertahan. Alih-alih takluk terhadap pandemi, proyek hilirisasi HARITA Nickel justru melesat dan menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Hal itu terwujud bahkan ketika jumlah pengangguran Indonesia akibat Covid-19 bertambah sebanyak 2,56 juta orang (Badan Pusat Statistik, Agustus 2020). Di saat bersamaan, HARITA Nickel juga turut serta menanggulangi pandemi Covid-19 bersama pemerintah, baik pusat maupun daerah, melalui berbagai cara.
Upaya HARITA Nickel itu memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ekonomi Malut. Pada tahun 2020, sektor hilirisasi memberi andil penting bagi ekonomi Malut untuk terus bergeliat di tengah resesi yang terjadi secara nasional. Resesi hampir menyeret seluruh provinsi kecuali Malut, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Utara. Malut tampil impresif dengan membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,66 persen pada kuartal III-2020. Penopang utamanya adalah industri hilirisasi yang melonjak 106,98 persen.
Ekonomi Malut pun terus bangkit meskipun pandemi Covid-19 belum berakhir sepenuhnya. Menurut data Bank Indonesia (BI) Malut, pada triwulan III-2021, provinsi ini mencatatkan pertumbuhan ekonomi kedua terbesar di Indonesia dengan torehan 11,41 persen. Angka tersebut berada di bawah Papua sebesar 14,54 persen dan di atas Sulawesi Tengah sebesar 10,21 persen. Deputi Kepala Perwakilan BI Malut, Hario Kartiko Pamungkas, mengatakan bahwa hilirisasi di Malut memegang peranan penting dalam pencapaian ini.
“Produk hilirisasi berupa feronikel dan nikel oksida memiliki porsi terbesar, dengan jumlah masing-masing yaitu 93,42 persen dan 4,60 persen. Pencapaian ini tak lepas dari perkembangan industri smelter dan pemurnian nikel di Halmahera Selatan, yaitu perusahaan HARITA Group yang memproduksi feronikel dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik,” ujar Hario pada Pertemuan Tahunan BI Malut, Rabu (24/11/2021).
Pertumbuhan ekonomi Malut terus berlanjut. Pada triwulan I-2022, terdapat pertumbuhan sebesar 29,63 persen jika dibandingkan dengan triwulan I-2021. Menurut data BPS Malut, hal itu lagi-lagi dipengaruhi oleh industri hilirisasi yang mengalami peningkatan sebesar 138,92 persen pada triwulan I-2022. Kepala BPS Malut Aidil Adha mengatakan, penambahan jumlah pabrik pengolahan yang memproduksi feronikel dan MHP telah memberi kontribusi besar.
Kontribusi sektor hilirisasi juga diakui oleh Sekretaris Pemerintah Provinsi Malut Samsuddin A. Kadir. Pada rapat paripurna penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah 2021, Senin (9/5/2022), ia mengatakan sektor ini telah memberi andil yang sangat signifikan. Berkat hilirisasi, kinerja makro pembangunan Malut tahun 2021 dapat ditopang hingga tumbuh sebesar 16,40 persen. Jumlah tersebut telah melampaui target yang dicanangkan sebelumnya, yakni 9,40 persen.
Sektor hilirisasi bukan saja mampu meningkatkan ekonomi Malut, tetapi juga mampu memperkuat neraca perdagangan nasional. Presiden Joko Widodo, pada sebuah wawancara dengan Bisnis, Kamis (6/1/2022), mengatakan bahwa hilirisasi telah membuat neraca perdagangan menjadi surplus. "Sekarang ini sudah 19 bulan neraca perdagangan surplus, itu dari mana? Dari stop ekspor nikel. Muncul angka US$20,8 miliar. Dulu ekspor tanah yang ada nickel ore paling hanya US$2 miliar setahun, artinya ada lompatan yang tinggi sekali," ujarnya.
HARITA Nickel selaku pionir industri hilirisasi di Malut terus bertransformasi menjadi lebih baik melalui peningkatan sumber daya manusia dan teknologi. Meskipun telah menjadi produsen bahan baku baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia, HARITA Nickel tidak mudah berpuas diri. Masih banyak inovasi yang berusaha diwujudkan untuk mempertegas komitmen perusahaan terhadap hilirisasi, termasuk dengan mendirikan smelter Halmahera Jaya Feronikel (HJF) dengan kapasitas produksi yang semakin besar.
Head of External Relations HARITA Nickel, Stevi Thomas, berharap hilirisasi yang dilakukan HARITA Nickel dapat terus memberi manfaat seluas-luasnya. “Transformasi dalam hilirisasi ini mampu mengoptimalkan sumber daya alam sebaik mungkin dan menciptakan nilai tambah. Kami berharap kehadiran HARITA Nickel beserta produk yang dihasilkannya dapat terus berkontribusi bagi perkembangan ekonomi, baik secara nasional maupun daerah, serta kontribusi lainnya untuk para pemangku kepentingan, khususnya di wilayah kami beroperasi,” ungkap Stevi
Go Top