17 September 2023
Tidak mau tanggung berhenti di produk antara, Harita Group semakin gencar membangun ekosistem industri nikel terpadu di Pulau Obi, Maluku Utara.
Ketika KONTAN berkunjung, Jumat (15/9), tampak di sisi barat pulau seluas 2.542 km2 itu tengah mereka bangun pabrik-pabrik baru beserta fasilitas pendukungnya untuk meningkatkan produksi feronikel, nikel sulfat, dan kobalt sulfat.
Alat-alat berat bekerja penuh 24 jam per hari demi menyelesaikan proyek konstruksi pabrik baru, beriringan dengan deru penambangan dan produksi berbagai produk turunan bijih nikel.
“Saya sendiri belakangan hampir setiap bulan ke Pulau Obi ini, selalu ada yang berubah lebih baru,” ujar Stevi Thomas, Direktur Hubungan Eksternal PT Trimegah Bangun Persada Tbk, anak perusahaan Harita Group yang mengelola kompleks pertambangan nikel terpadu tersebut.
Bahkan, rencananya grup usaha milik Keluarga Lim ini akan membangun pabrik baja tahan karat (stainless steel) di pulau yang harus ditempuh selama 12 jam perjalanan dari Jakarta, melalu transit pesawat di Ternate disambung perahu cepat 3 jam dari Labuha.
Kabarnya raksasa baja asal Korea Selatan, Posco, pun berminat dan belum lama ini meninjau ke kompleks pertambangan terpadu milik Harita Nickel tersebut. Tapi ada juga pemain besar lain yang menyatakan minatnya.
Menurut Direktur Utama PT Trimegah Bangun Persada Tbk Roy Arfandi kepada KONTAN, beberapa waktu lalu, pihaknya terus bernegosiasi dengan calon mitra untuk proyek pembangunan pabrik stainless steel. “Sementara tahap negosiasi belum tuntas. Semoga bisa kami bereskan sampai akhir tahun ini,” ujar Roy.
Saat ini, dari wilayah izin usaha pertambangan (IUP) seluas total 5.524 hektare, dalam setatun mereka mampu mengeruk 1,353 ton saprolit dan 1,276 limonit yang lebih rendah kadar nikelnya. Selain itu, Harita juga sudah mengantongi IUP pertambangan di beberapa lokasi di Pulau Obi.
Tak puas berhenti di bisnis hulu tambang, setelah 5 tahun menambang bijih nikel, pada 2015, Harita membangun smelter feronikel sebanyak 4 jalur produksi. Dua tahun kemudian, hilirisasi nikel saprolit ini menghasilkan produk feronikel perdana.
Adapun untuk nikel limonit, yang dulunya cuma menjadi limbah tambang nikel, menemukan jalan untuk digarap menjadi produk yang bernilai tambah tinggi.
Ini lantaran bos Harita, Lim Gunawan Hariyanto, tertarik melihat kesuksesan raksasa tambang Tiongkok, Ningbo Lygend, mengembangkan PNG Ramu Nickel Laterite Project. Teknologi buatan ENFI itulah yang kemudian disempurnakan jadi high pressure acid leach (HPAL).
“Waktu itu kawan-kawan saya meragukan kesuksesan teknologi HPAL, karena memang pernah dicoba di beberapa proyek tidak berhasil. Mereka minta saya bilang kepada bos untuk tidak memakai teknologi tersebut,” ucap Stevi.
Namun, Harita tetap mantap menjalin kongsi dengan Lygend untuk mengolah limonit menjadi mixed hydroxide precipitate (MHP).
Tahun 2019, perusahaan patungan PT Halmahera Persada Lygend mulai membangun pabrik pengolahan dan pemurnian nikel limonit dengan sistem hidrometalurgi tersebut. Dan, tahun kemudian, panen produksi MHP sudah berhasil mereka tuai.
Jadilah Harita giat mengembangkan hilirisasi limonit dan saprolit secara serentak. Terlebih mereka punya keunggulan kompetitif: lokasi hulu tambang dengan pengolahan produk hilir tambang berada dalam satu kawasan industri serta deklat dengan jetty, dermaga untuk ekspor-impor. “Jadinya kami sangat efisien,” kata Stevi.
Smelter feronikel yang semula 4 jalur produksi sudah mereka tingkatkan kapasitasnya dengan mendirikan pabrik kedua yang berkapasitas dua kali lipat, sebanyak 8 jalur produksi.
Saat ini, dengan kapasitas input bijih nikel saprolit 7,8 juta ton per tahun, PT Halmahera Jaya Feronikel mampu meproduksi sebanyak 780.000 ton feronikel per tahun. Artinya, siap untuk membangun pabrik baja tahan karat.
Yang tak kalah menarik, Halmahera Persada Lygend tidak hanya sebatas menghasilkan produk MHP sebanyak 365.000 ton per tahun.
Dengan belanja investasi sekitar US$ 1 miliar dari hasil penerbitan saham perdana (IPO) PT Trimegah Bangun Persada Tbk yang mendapat kode saham NCKL, mereka kini bisa menghasilkan nikel sulfat 247.000 ton per tahun dan kobalt sulfat 32.000 ton per tahun.
“Boleh dibilang kami saat ini produsen nikel sulfat terbesar di dunia,” ucap Rico Windy Albert, Technical Support Department Head PT Halmahera Persada Lygend.
Nikel sulfat dan kobalt sulfat ini merupakan turunan MHP yang tinggal tiga tahap lagi menjadi baterai kendaraan listrik alias electric vehicle (EV). Yakni, dari nikel sulfat dan kobalt sulfat harus diolah lagi menjadi prekursor, lalu menjadi katoda; dan ujungnya adalah baterai EV.
Tampaknya Harita serius menggarap produk hilir nikel limonit. Saat ini mereka tengah meng-“copy paste” pabrik pengolahan limonit tersebut dengan kapasitas yang lebih besar, dalam proses konstruksi.
Tak heran bila NCKL optimistis kinerja mereka akan mencapai target. Bila tahun 2022 mereka mampu meraih pendapatan Rp 9,57 triliun, diproyeksika tahun 2023 revenue bakal melonjak jadi Rp 23 triliun. Begitu pun laba ditaksir naik jadi Rp 5,46 triliun ketimbang periode tahun lalu sebesar Rp 4,67 triliun.
Go Top